Jika kamu jadi diriku, kamu akan berpendapat sama denganku atas ketidakpercayaanku dengan apa yang terjadi sekarang. Seolah ini hanya mimpi, namun Tidak! Ini nyata.
Yah, sekarang aku duduk di sini, di sebuah gedung yang terbilang sederhana, namun terlihat megah jika kita sudah menapakkan kaki di dalamnya. Di tempat yang sudah didesain sedemikian indah. Mulai dari pintu masuk hingga kursi-kursi yang ada ditempat ini membuat mata bagaikan tersihir. Bunga-bunga terjuntai indah di setiap sudut ruangan serta kain-kain berwarna warni saling melintang di langit-langit gedung turut menjadi penyedap pandangan.
Gemerlap lampu-lampu seakan tersenyum ceria melihat betapa banyak orang dalam ruangan ini. Meja-meja yang kaya akan berbagai macam makanan tertata rapi di atasnya. Orang tua, remaja bahkan anak-anak dengan senyum sumringah saling bersenda gurau. Nampak Abi dan Ummi bercengkrama dengan beberapa orang yang tak kukenali. Sementara adik laki-lakiku sibuk menawarkan makanan kepada teman sebayanya.
Sedangkan Aku, kini sudah duduk manis diatas sebuah kursi yang sudah didesain pula, ditutupi oleh kain berwarna senada dengan baju indah yang kukenakan sekarang, warna putih.
Aku bagaikan seorang ratu yang ditatap banyak orang. Gaun putihku menjuntai hingga ke lantai, menutupi highheels yang kupakai. Wajahku yang dipoles make up natural, hanya dengan bedak tipis, blush on tipis dan lipstick berwarna peach. Aku tidak menggunakan bulu mata palsu, Ribet. Aliskupun tidak ku ukir.
Hanya membubuhi sedikit pensil alis warna coklat agar terlihat rapi. Aku sengaja memberitahukan kepada juru make up agar tidak mengubah apapun yang ada di wajahku termasuk alis. Sebab sudah menjadi budaya masakini, wanita yang hendak duduk dipelaminan, alisnya harus di cukur. Tapi tidak denganku. Aku tak mau melakukan itu hanya untuk cantik sesaat, namun dapat laknat Allah sampai akhirat. Bagiku, yang ada dalam diriku adalah titipan, sebuah takdir Allah, telah terpoles secara sempurna, hingga ku hanya bertugas untuk menjaganya.
Tampil sederhana membuatku nyaman. Wajahku pun tidak terasa berat akibat bedak yang terlalu tebal. Bibirku tak henti-hentinya mengukir senyum. Ini bukan pencitraan di depan para tamu. Melainkan, ini asli bahagia. Bagaimana tidak. Aku duduk di sampingnya. Laki-laki yang baru beberapa jam yang lalu mengucapkan ijab kabul di hadapan Abiku dan mengambil alih hak Abi atas diriku. Laki-laki yang siap membersamaiku hingga maut menjemput.
Laki-laki yang siap membimbingku selayaknya seorang belahan jiwa.
Sekarang aku Az-zahra Azkadina telah menjadi istrinya. Kini, Dia telah menemukan tulang rusuknya yang telah lama dicarinya. Pandanganku tak bisa berpaling dari wajahnya yang penuh kharisma. Iya, sungguh suamiku berkharisma. Dia pangeranku dan sekarang aku memilikinya, Dia milikku. Aku akan menemaninya hingga di surga nanti. Insya Allah...
[full-post]
Yah, sekarang aku duduk di sini, di sebuah gedung yang terbilang sederhana, namun terlihat megah jika kita sudah menapakkan kaki di dalamnya. Di tempat yang sudah didesain sedemikian indah. Mulai dari pintu masuk hingga kursi-kursi yang ada ditempat ini membuat mata bagaikan tersihir. Bunga-bunga terjuntai indah di setiap sudut ruangan serta kain-kain berwarna warni saling melintang di langit-langit gedung turut menjadi penyedap pandangan.
Gemerlap lampu-lampu seakan tersenyum ceria melihat betapa banyak orang dalam ruangan ini. Meja-meja yang kaya akan berbagai macam makanan tertata rapi di atasnya. Orang tua, remaja bahkan anak-anak dengan senyum sumringah saling bersenda gurau. Nampak Abi dan Ummi bercengkrama dengan beberapa orang yang tak kukenali. Sementara adik laki-lakiku sibuk menawarkan makanan kepada teman sebayanya.
Sedangkan Aku, kini sudah duduk manis diatas sebuah kursi yang sudah didesain pula, ditutupi oleh kain berwarna senada dengan baju indah yang kukenakan sekarang, warna putih.
Aku bagaikan seorang ratu yang ditatap banyak orang. Gaun putihku menjuntai hingga ke lantai, menutupi highheels yang kupakai. Wajahku yang dipoles make up natural, hanya dengan bedak tipis, blush on tipis dan lipstick berwarna peach. Aku tidak menggunakan bulu mata palsu, Ribet. Aliskupun tidak ku ukir.
Hanya membubuhi sedikit pensil alis warna coklat agar terlihat rapi. Aku sengaja memberitahukan kepada juru make up agar tidak mengubah apapun yang ada di wajahku termasuk alis. Sebab sudah menjadi budaya masakini, wanita yang hendak duduk dipelaminan, alisnya harus di cukur. Tapi tidak denganku. Aku tak mau melakukan itu hanya untuk cantik sesaat, namun dapat laknat Allah sampai akhirat. Bagiku, yang ada dalam diriku adalah titipan, sebuah takdir Allah, telah terpoles secara sempurna, hingga ku hanya bertugas untuk menjaganya.
Tampil sederhana membuatku nyaman. Wajahku pun tidak terasa berat akibat bedak yang terlalu tebal. Bibirku tak henti-hentinya mengukir senyum. Ini bukan pencitraan di depan para tamu. Melainkan, ini asli bahagia. Bagaimana tidak. Aku duduk di sampingnya. Laki-laki yang baru beberapa jam yang lalu mengucapkan ijab kabul di hadapan Abiku dan mengambil alih hak Abi atas diriku. Laki-laki yang siap membersamaiku hingga maut menjemput.
Laki-laki yang siap membimbingku selayaknya seorang belahan jiwa.
Sekarang aku Az-zahra Azkadina telah menjadi istrinya. Kini, Dia telah menemukan tulang rusuknya yang telah lama dicarinya. Pandanganku tak bisa berpaling dari wajahnya yang penuh kharisma. Iya, sungguh suamiku berkharisma. Dia pangeranku dan sekarang aku memilikinya, Dia milikku. Aku akan menemaninya hingga di surga nanti. Insya Allah...
[full-post]