'Sombayya' Bukti Sejarah Masa Lalu di Bulukumba

Sombayya yang terletak di Desa Benteng Palioi merupakan bukti sejarah masa lalu di Butta Panrita Lopi

www.itusaya.com/Teman-teman pasti pernah mendengar cerita dimasa lalu yang hingga saat ini masih tetap dipercaya. Secara akal mungkin tidak memiliki pengaruh dan tidak mungkin terjadi akan tetapi secara realita, cerita ini memang benar terjadi. Kali ini penulis akan mencoba bercerita tentang salah sebuah desa yang terletak di kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba. Desa ini bernama Benteng Palioi, sebuah desa yang terletak di dataran tinggi, memiliki pemandangan yang indah dengan cuaca yang sejuk. Desa ini berbatasan dengan desa Somba Palioi yang hanya dipisahkan oleh bentangan sungai yang sangat dalam. Jika berada jembatan, maka teman-teman dapat melihat puncak pepohonan dari atas.

Menurut cerita dari warga sekitar, konon katanya desa ini tidak hanya indah dipandang mata namun lebih dari itu, desa ini menyimpan sebuah sejarah yang hingga saat ini masih dipercaya sebagai bagian dari saksi masa lalu. Penamaan dari desa ini tidak sekedar memberi tapi memiliki makna dan sejarah yang cukup panjang. Pohon beringin yang memiliki tinggi lebih dari 45 meter berdiri kokoh dipinggir jalan menjadi saksi masa lalu yang mana pohon ini dijadikan sebagai benteng pertahanan Sombayya bersama prajuritnya. Sebelum berperang, dibawah pohon inilah panglima perang yang bernama I Nyonri Daeng Massese menyusun strategi. Hingga sekarang pohon masih dipercaya menyimpan tabir misteri yang dihuni oleh seorang perempuan cantik.

Somba Palioi dulunya adalah Dusun dari Desa Benteng Palioi Kecamatan Kindang yang kini telah di mekarkan pada tahun 2012 lalu. Somba, di maknai oleh warga Palioi sebagai ‘’To Risompa’’ atau Sombayya yang berarti seorang Raja perempuan. Sementara Palioi adalah tempat pertemuan atau biasa di sebut ‘’Toddao Pulinna Gowa, Toddo tallasa’na Bone.
www.itusaya.com

Somba Palioi

Sombayya berasal dari Kerajaan Gowa yang melarikan diri dan menginjakkan kakinya di tanah Palioi pada Tahun 1929 beserta rombongannya yang dipandu oleh Boto (juru jalan dan pemikir). Penyebab Sombayya sang Raja melarikan diri dari kerajaan Gowa adalah karena adanya lamaran perjodohan yang di tujukan kepada Sombayya, akan tetapi Sombayya menolak dan tidak menginginkan perjodohan tersebut sampai pada akhirnya ia melarikan diri dari tanah kerajaan Gowa.

Akibat dari kaburnya Sombayya dari Kerajaan Gowa, menyebabkan warga Gowa memberikan semacam kutukan bahwa tidak akan ikut atau menginjakkan kakinya di tanah di mana Sombayya akan tiba dan bermukim. Sehingga sampai sekarang warga Gowa selalu mengurungkan niatnya jika hendak mendatangi Desa Somba Palioi, Dia juga berjanji akan menginjakkan kakinya ke tempat Sombayya berpijak, apabila mereka telah Memotong seekor kerbau dengan menggunakan Tanduk Gelang.

Sombayya tiba di lembah Desa Palioi dan bermukim sampai meninggal Dunia. Tidak ada yang tahu persis berapa lama Sombayya bermukim hingga wafat disini, yang ada kini kuburannya sangat begitu dihormati dan dihargai oleh masyarakat sekitar. Bahkan, Kuburan ini berjarak sekitar 2 kilo meter dari pemukiman warga, untuk sampai ke kuburan ini teman-teman harus melewati kebun dan hutan. Makam Sombayya ini, kerap kali dikunjungi oleh orang-orang yang memiliki niatan atau hajatan. Bahkan tak jarang, mereka membawa sesajen. Makam ini, dijaga oleh seorang warga bernama Pak Mamung yang masih satu keturunan sebagai generasi kedua.

Dalam ritual siarah kubur ke makam Sombayya mesti menyiapkan beberapa hal, termasuk kerbau dan sapi yang dipotong konon katanya wajib di sembeli di sekitar makam. Sampai saat ini aroma mistis masih ada bahkan percaya atau tidak ini bisa dibuktikan dari kesaksian warga sekitar. Mereka percaya bahwa orang yang berasal dari keturunan asli raja Gowa tidak bisa masuk ke desa ini. Percaya atau tidak kutukan ini berlaku hingga saat ini.

Suatu waktu ketika sebuah jembatan di Somba Palioi diperbaiki, seorang pekerja jembatan yang kebetulan orang Gowa tiba-tiba sakit dan meninggal. Entah kebetulan atau tidak, adapula cerita tentang seorang mahasiswa yang datang untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga tiba-tiba meninggal. Selain itu, ada juga seseorang yang datang untuk bersiarah kemakam Sombayya, namun tidak bisa sampai dan akhirnya meninggal di sebuah sungai yang menjadi batas wilayah. Masyarakat sekitar percaya bahwa ini adalah sebuah kutukan bagi keturuan Raja Gowa Asli untuk tidak bisa melintasi daerah ini. Siapapun yang berasal dari keturunan Raja Gowa asli tidak boleh melintas atau masuk ke wilayah ini karena akan mendapatkan malapetaka dari kutukan yang telah ada di masa lalu.

Sebelum meninggal, Sombayya berpesan agar kelak ia meninggal maka arah kakinya mengarah(menjulur) ke Gowa. Kuburan tersebut dikenal sebagai tonrang Gowa. Makanya di Desa Somba Palioi dan Benteng Palioi tidak ada istilah gelar Andi’ atau karaeng, karena apabila ada keturunan darah bangsawan yang masuk ke wilayah ini maka gelar bagsawannya akan hilang.

Makanya, bagi keturunan Raja Gowa Asli hati-hati loh jika ingin berkunjung kesini karena percaya atau tidak, ada banyak bukti yang mengarah tentang kebenaran dari cerita ini. Jika tidak percaya, teman-teman boleh membuktikan sendiri atau bertanya langsung ke warga sekitar. Pastinya penulis yakin teman-teman akan mendapatkan informasi yang lebih akurat lagi.

Tentu kebenarannya tidak bisa diyakini, tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. tetapi cerita ini bisa menjadi pembuktian adanya relasi historis antara dimensi kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Tulisan ini penulis sadur dari tulisan Ahmad Yasir Aras dan atas informasi Bapak Mursal ketua BPD Desa Somba Palioi.

IS Media menggunakan cookie untuk menawarkan dan memastikan pengalaman menjelajah yang lebih baik. Selengkapnya!